Benarkah Al-Qur’an mendukung bid’ah? Masalah bid’ah selalu menjadi pro-kontra di antara berbagai kalangan, terlebih lagi di internal kaum muslim sendiri. Satu pihak menyatakan bahwa semua hal yang dinamakan bid’ah telah menyeleweng. Sedangkan, pihak lainnya mencoba untuk mengklasifikasikan bid’ah menjadi beberapa jenis terlebih dahulu yang mana nantinya hasil dari pengklasifikasian tersebut menghasilkan jenis bid’ah yang tidak diperbolehkan oleh agama, juga bid’ah yang diperkenankan oleh agama.
‘Ala kulli haal, nyatanya Al-Qur’an sendiri telah menyinggung perihal bid’ah. Lantas, bagaimana kata Al-Qur’an mengenai bid’ah? Apakah Al-Qur’an mendukung praktik bid’ah? Atau malah melarangnya? Simak penjelasan berikut!
Semua Bid’ah adalah Sesat?
Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dalam kitab monumentalnya, Risalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah mengutip dari Syekh Zaruuq dalam kitab ‘Uddah al-Muriid mengenai pengertian dari bid’ah. Syekh Zaruuq mengatakan:
“البدعة شرعًا إحداثُ أمرٍ في الدّين يُشبه أن يكون منه وليس منه سواء”.
Artinya: “Bid’ah menurut syara’ adalah menciptakan hal baru dalam agama seolah-olah hal tersebut merupakan bagian dari agama itu sendiri, padahal sebenarnya bukan.”
Namun, beberapa kalangan menganggap bahwa hal-hal baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW—yang mana mereka sebut dengan bid’ah—semuanya adalah sesat mereka berlandaskan pada hadis:
«…كلّ بدعةٍ ضلالةٌ». الحديث رواه أبو داود والترمذي
Artinya: “Setiap bid’ah itu dhalalah (sesat)”. (HR. Abu Dawud: 4607 dan at-Tirmidzi: 2676)
Dengan hadis ini, kalangan tersebut beranggapan bahwa semua yang disebut bid’ah adalah dhalalah (sesat). Padahal, makna hadis ini tidak sesederhana demikian.
Para ulama yang cerdik cendekia (‘alim ‘allamah) dahulutelah menjelaskan bahwa yang dimaksud bid’ah di sini tidak semena-mena merupakan semua hal baru yang tidak dilakukan Nabi Saw. Redaksi “kullu bid’ah dhalalah” masih bersifat ‘amm (umum), sehingga keumuman lafadz tersebut perlu ditakhsis (diperinci/dikhususkan/dibatasi keumumannya atau disebut dengan ‘amm makhsus) dengan dalil-dalil yang lain. Seperti yang dikatakan Syekh Abdullah al-Ghamari dalam kitab Itqon as-Sun’ah fii Tahqiq Ma’na al-Bid’ah,
“يعلم ممّا مرّ: أنّ العلماء متّفقون على انقسام البدعة إلى محمودة ومذمومة. وأنّ عمرَ رضي الله عنه أوّلُ من نطق بذالك. ومتّفقون على أنّ قول النّبي ﷺ : «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» عام مخصوص”. (إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة ص. 13)
Artinya: “Perlu diketahui, ulama sepakat bahwa bid’ah terbagi menjadi 2: terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Orang pertama yang mengungkapkan istilah tersebut adalah Umar RA. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa ucapan Nabi Saw berupa ‘kullu bid’ah dhalalah’ adalah kalimat ‘amm yang perlu ditakhsis nantinya”.
Sebagai penguat, Syekh al-Ghamari mengemukakan salah satu dalil yang mentakhsiskeumuman hadis “kullu bid’ah dhalalah” berupa hadis:
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
Artinya: “Barangsiapa dalam Islam melakukan atau membuat amalan yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa dalam Islam melakukan atau membuat amalan yang buruk, maka atasnya dosa dan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 1017).
Menurut Syekh al-Ghamari, hadis ini dengan jelas mengungkapkan bahwa sesuatu yang baru (bid’ah) terbagi menjadi dua: baik (hasanah) dan buruk (sayyiah). Syekh al-Ghamari menjelaskan bahwa yang dimaksud bid’ah hasanah adalah amalan yang tidak menyalahi kaidah-kaidah syariat (agama Islam). Sedangkan, yang dimaksud bid’ah sayyiah adalah amalan yang menyalahi kaidah atau aturan syariat agama Islam.
Akhirnya, penjelasan dari Syekh al-Ghamari ini membuktikan bahwa bid’ah tidak seluruhnya sesat. Namun, bid’ah sendiri harus diperinci dan diklasifikasikan dengan lebih cermat terlebih dahulu, apakah masuk dalam kategori hasanah atau justru sayyiah.
Al-Qur’an Mendukung Bid’ah?
Mengejutkan, Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya ternyata turut memberikan dukungan untuk mengerjakan bid’ah. Tentunya, bid’ah di sini adalah bid’ah yang hasanah. Lagi-lagi, hal ini dikemukakan oleh Syekh al-Ghamari dalam kitabnya Itqon As-Sun’ah fii Tahqiq Ma’na Al-Bid’ah. Syekh al-Ghamari mengangkat penggalan Surah Al-Hadid ayat 23 berikut:
… وَرَهۡبَانِيَّةً ٱبۡتَدَعُوهَا مَا كَتَبۡنَٰهَا عَلَيۡهِمۡ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ رِضۡوَٰنِ ٱللَّهِ فَمَا رَعَوۡهَا حَقَّ رِعَايَتِهَاۖ …الآية [الحديد: 27]
Artinya: “…mereka mengada-adakan (membuat bid’ah) rahbaniyyah (ibadah baru yang dibuat-buat oleh Bani Israil [penjelasan lebih lanjut tentang rahbaniyyah ini insyaAllah ditulisan berikutnya]), padahal kami tidak mewajibkannya pada mereka, (yang kami wajibkan) hanyalah mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya…” (QS. Al-Hadid: 23).
Menurut Syekh al-Ghamari, ayat ini mengandung celaan untuk Bani Israil. Namun, celaan dari ayat di atas tidak disebabkan karena Bani Israil melakukan bid’ah berupa praktik rahbaniyyah. Justru, celaan dari ayat ini ditujukan kepada Bani Israil karena mereka tidak menjaga bid’ah hasanah berupa praktik Rahbaniyyah tersebut. Syekh al-Ghamari mengatakan:
“فإنّ الآية لم تعب أولئك النّاس على ابتداع الرّهبانيّة؛ لأنّهم قصدوا بها رضوانَ الله. بل عابتهم على أنّهم لم يرعوها حقّ رعايتها.” (إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة ص. 23)
Artinya: “Ayat ini tidak mencela mereka (Bani Israil) sebab mengadakan rahbaniyyah. Karena praktik tersebut mereka (Bani Israil) lakukan atas dasar mencari rida Allah SWT. Justru, ayat ini mencela mereka (Bani Israil) karena mereka tidak menjaga bid’ah hasanah berupa rahbaniyyah tersebut”.
Penggalan ayat dalam Surah Al-Hadid ini menjadi dalil bahwa Al-Qur’an tidak serta-merta menolak bid’ah secara umum. Bahkan juga bisa disebut mendukung bid’ah. Lebih lanjut, jika bid’ah tersebut tidak bertentangan dengan syariat (seperti yang telah dijelaskan di awal), maka dikategorikan sebagai bid’ah hasanah. Kemudian, berdasarkan tafsiran ayat di atas, praktik bid’ah hasanah (yang dalam ayat ini dicontohkan berupa praktik rahbaniyyah) ternyata tidak dilarang oleh Al-Qur’an. Justru, Al-Qur’an sendiri memberi dukungan untuk menjaga atau melestarikan bid’ah hasanah tersebut.
Oleh karena itu, Syekh al-Ghamari di akhir penafsirannya terhadap ayat ini mengatakan:
“وهذا يفيد مشروعيّة البدعة الحسنة كما هو ظاهر.” (إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة ص. 23)
Artinya: “Dan ini (tafsiran Surah Al-Hadid ayat 23) berfaedah terhadap disyariatkannya (diperbolehkannya) praktik bid’ah hasanah, sebagaimana yang telah jelas”.
Penulis: Syifa’ Q.
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Membina Gen Z dengan Pendekatan Al-Qur’an dan Hadis