tebuireng.co – Emansipasi wanita bukan wacana yang asing didengar telinga dunia, di era ini emansipasi wanita telah jauh berkembang daripada sebelumnya, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya perempuan yang turut mengambil peran di ranah publik. Namun, kita tak dapat menutup telinga dan tidak mau tahu-menahu tentang bibit-bibit pemikiran yang masih mendiskrimainasi perempuan. Misalnya, ketika perempuan menjadi korban dalam kasus pelecehan dan kekerasan, alih-alih mendapat dukungan, sebagian masyarakat malah melayangkan tuduhan yang mengakibatkan para korban memilih diam, tidak menyuarakan penderitaan yang mereka alami karena khawatir terhadap nyinyiran dan tatapan hina masyarakat, yang menganggap mereka tidak mampu menjaga kehormatan, padahal mereka juga sama sekali tak menginginkan hal yang demikian.
Masalah selanjutnya muncul dengan melegitimasi gagasan para perempuan sebaiknya tidak keluar rumah, tidak perlu memperjuangkan cita-cita atau karir mereka dengan dalih terlalu banyak ‘bahaya’ mengintai. Jika hal tersebut dibenarkan, maka emansipasi perempuan hanya sebuah wacana, saat mindset masyarakat kita masih memarginalkan perempuan sebagai sumber permasalahan.
Pentas sejarah yang telah menampilkan para tokoh dari berbagai belahan dunia dalam hal menyerukan emansipasi wanita, seperti Sojouner Truth, Elizabeth Cady Stanton, Louise Otto-Petters, dan R.A Kartini, tokoh emansipasi wanita negara kita sendiri, Indonesia. Mereka akan tinggal cerita, jika generasi saat ini tidak dapat meneruskan perjuangan mereka.
Baca Juga: Perempuan Indonesia Pertama Peraih Gelar Prestisius dari Al-Azhar
Terkait dengan emansipasi wanita, jika kemudian dikorelasikan dengan ajaran Islam maka akan menjadi diskusi yang semakin menarik, dengan munculnya beberapa anggapan bahwa ajaran Islam bersifat dikriminatif terhadap perempuan, tentu hal ini perlu diteliti kembali kebenarannya. Jika melihat sejarah peradaban Islam, tak sedikit tokoh wanita yang cocok menjadi figur emansipasi wanita, Sayyidah Aisyah salah satunya.
Hadis yang menjadi dalil kedua setelah al Qur’an, dalam sejarah periwayatannya, Aisyah sebagai ummul mu’minin banyak berkontribusi, bahkan menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis, khususnya terkait hal-hal yang tidak pernah muncul di kalangan para sahabat lelaki, atau tidak memungkinkan untuk dibahas kecuali oleh para ummahatul mu’minin.
Muhammad Abu Zahw, guru besar Universitas Al Azhar dalam karyanya Al Hadits wa al Muhadditsun menyebutkan bahwa Aisyah meriwayatkan meriwayatkan sebanyak 2210 Hadis, Bukhari-Muslim bersepakat dalam 174 Hadis, Bukhari sendiri meriwayatkan 54 Hadis, dan Muslim sebanyak 68 Hadis. Sehingga Sayyidah Aisyah sangat cocok menjadi figur emansipasi wanita.
Baca Juga: Perempuan adalah Kunci
Kecerdasan yang dimilikinya membuat ia berhasil mengukir tinta emas dan namanya bersanding dengan para sahabat laki-laki yang paling banyak meriwayatkan Hadis. Muhammad Abu Zahw juga menceritakan kecerdasan dan ketelitian Aisyah dalam menyebarkan Hadis, Aisyah kerap menguji kualitas hafalan perawi untuk memastikan tingkat ketelitiannya. Di dalam Shahih Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa Aisyah meminta Urwah bin Zubair untuk bertanya kembali tentang sebuah Hadis yang diriwayatkannya kepada Abdullah bin Amr pada tahun sebelumnya untuk memastikan tingkat ketelitiannya dalam meriwayatkan Hadis.