tebuireng.co – Agama sebabkan ketimpangan gender, benarkah begitu? Perempuan secara biologis bisa melahirkan, menyusui, hamil, dan menstruasi. Secara normal, sebagaimana kita ketahui bahwa sifat di atas hanya khusus dimiliki oleh perempuan dan tidak bisa dimiliki oleh laki-laki hingga kapan pun.
Sehingga sifat mendasar tersebut menjadi referensi utama untuk membedakan antara manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Demikian halnya laki-laki, ia memiliki ciri khas berbeda dari perempuan yang melekat pada dirinya sehingga bisa dibedakan antar keduanya. Misalnya, manusia laki-laki memproduksi sperma, suaranya lebih besar dari pada perempuan, memiliki alat kelamin yang disebut penis dan ia juga memiliki jakun.
Sehingga, bisa dipastikan pula bahwa perempuan tidak akan pernah memiliki ciri khas ini secara normal sampai kapan pun.
Perbedaan secara biologis ini tidak akan pernah berubah. Sebab ia merupakan ketetapan dari proses awal penciptaan manusia yang kemudian popular kita kenal dengan istilah kodrat.
Kodrat perempuan seperti ini, kodrat laki-laki seperti itu. Dan semuanya bersifat permanen. Biarpun ada sebagian orang di dunia ini yang melakukan transgender, tapi itu tidak akan pernah merubah kaidah umum yang telah disepakati tentang siapa perempuan dan siapa laki-laki yang telah berjalan selama ini.
Ada perbedaan, ada pula persamaan. Persamaan di sini mengenai pandangan (yang seharusnya dimiliki seiap manusia) terkait posisi perempuan dan laki-laki yang setara dari berbagai segi. Ajaran tentang ini, sebenarnya ada dalam ajaran agama Islam.
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan dipandang setara sebagai ciptaan Allah Swt. sebagai manusia seutuhnya. Selanjutnya, di banyak literatur keislaman juga dibahas bahwa manusia memiliki mandat sebagai Khalifah Allah di muka bumi yang mengemban tugas untuk menjaga, mengembangkan dan meneruskan kestabilan hidup melalui kesejahteraan di antara sesama makhluk.
Berangkat dari sini, maka perempuan berhak mendapatkan pendidikan, mengeksplorasi potensi diri, berekonomi layak dan berhak untuk memberikan sumbangsih bagi peradaban sesuai bidang yang ia mampu sebagaimana layaknya laki-laki yang juga seperti itu.
Akan tetapi, hal tersebut masih menjadi impian karena belum terealisasi seutuhnya dalam lingkungan masyarakat. Sebab masih banyak ditemukan perempuan yang termarginalisasi, menjadi korban subordinasi serta ditimpahi beban kerja ganda baik utamanya dalam ranah domestik.
Adapun di ruang publik, nama perempuan tidak sepopuler laki-laki karena masih sangat sempit kesempatan yang perempuan miliki untuk mengisi ruang tersebut. Inilah ketimpangan gender.
Mengupas apakah agama sebabkan ketimpangan gender mari kita baca pandangan Mansour Fakih, ada rangkaian peristiwa yang menyebabkan ketimpangan sosial di tengah masyarakat, utamanya dalam hal gender. Menurutnya, semua itu melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak.
Mula-mula ia mengartikan bahwa pemahaman tentang gender (yang timpang ini) lahir dari kultur dan sosial. Lalu ia disosialisasikan melalui ajaran agama dan kebijakan kenegaraan.
Sehingga doktrin bahwa perempuan merupakan makhluk nomor dua setelah laki-laki menjadi kuat, mengakar dan tampak memiliki pedoman dalam agama saleh dan aturan-aturan negara.
Agama, khususnya Islam sebagai salah satu pihak yang memiliki peran dalam melahirkan kesenjangan gender menurut perspektifnya Mansour Fakih tadi sebenarnya juga memiliki peran untuk merekonstruksi ulang pandangan masyarakat terkait gender menuju konsep gender yang lebih bersahabat dengan semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan. Karena sejatinya Islam yang diajarkan melalui diutusnya nabi Muhammad Saw di muka bumi ini adalah Rahmah bagi seluruh alam. (Q.S. Al-Anbiya’:107)
Selanjutnya, sebagai petunjuk bagi umat agar menjalani agama dengan benar dan sesuai yang diinginkan Allah Swt., maka kita kenal al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam.
Kemudian selanjutnya ialah sunah nabawiyah atau hadis sebagai Mubayyin-nya(baca:penjelas). Dua teks agama tersebut, yang dijadikan sumber utama untuk mengambil pelajaran telah memuat ajaran tentang kehidupan umat manusia mulai dari hal terpokok hingga yang terperinci.
Mulai dari bab ibadah hingga bab mu’amalah. Sedemikian komphrehensifnya al-Qur’an serta hadis dalam memuat panduan tentang hidup manusia. Tak terkecuali di sini juga pembahasan tentang laki-laki dan perempuan baik secara garis besar sebagai sesama hamba Allah Swt, maupun secara lebih terperinci lagi seperti mengenai tugas dan larangan-larangan khusus baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Perlu diingat, agama Islam membawa visi besar sebagai Rahmah Lil ‘Alamin. Sehingga apabila terjadi degradasi moral, ketimpangan dan segala macam yang negatif lalu kemudian dikaitkan dengan agama, sebenarnya yang perlu dipertanyakan pertama kali ialah bagaimana dirinya berinteraksi dengan teks agama.
Bisa jadi letak kesalahannya ialah pada oknum yang salah paham tentang pesan-pesan keagamaan yang dipahami tidak secara komprehensif. Masuk juga di sini tentang ketimpangan gender.
Faqihuddin Abdul Qodir menyimpulkan, bahwa teks keagamaan yang paling banyak berbicara tentang perempuan dan kemudian menyebabkan kesalah pahaman hingga memunculkan ketidak adilan gender di internal umat Islam banyak ditemukan bersumber dari hadis nabi Muhammad Saw.
Mulai dari hadis nabi yang berbicara tentang perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, perempuan merupakan sumber fitnah, larangan perempuan pergi ke masjid, larangan perempuan menjenguk orang tuanya yang sakit tanpa izin suami dan lain sebagainya yang berkesimpulan bahwa perempuan satu derajat posisinya di bawah laki-laki.
Padahal, banyak teks agama baik berupa al-Qur’an maupun hadis yang kemunculannya dilatar belakangi oleh peristiwa-peristiwa tertentu meskipun tampil dengan lafadz yang umum. Sebut saja hadis yang mengatakan bahwa perempuan separuh akalnya dari laki-laki (HR.Bukhari: 305).
Menurut Abu Syuqqah, mengenai pernyataan nabi Saw dalam hadis tersebut sebagaimana dikutip Faqihuddin dalam bukunya “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” adalah sapaan Rasulullah Saw kepada sahabat perempuan untuk memulai percakapannya dengan candaan.
Jadi, pernyataan singkat tersebut tujuannya bukanlah untuk mengenalkan suatu hukum. Ia hanyalah sebatas ungkapan nabi Saw. untuk menciptakan keakraban di tengah sahabatnya.
Sebab, apabila dibaca tuntas mulai dari Sabab al-Wurud (sebab kemunculun hadis) hingga Matan (teks yang berisi ungkapan, pernyataan dan hal lain yang dinisbahkan kepada nabi) maka akan ditemukan gambaran peristiwa yang terjadi di salah satu hari raya Idul Fitri di masa nabi itu.
Dan apabila kita pahami secara gamblang tanpa mendalami secara komprehensif hadis di atas maka tidak ada lain yang muncul kecuali ketimpangan sebagaimana kita lihat. Seperti dilarangnya perempuan menjadi pemimpin karena pertimbangan akalnya yang lemah dengan bersandar pada potongan hadis di atas.
Sehingga, tawaran kerja akademik yang Faqihuddin kenalkan dalam memahami hadis yang kemudian ia sebut dengan Mubadalah menjadi penting untuk dipelajari dan didalami.
Karena metode tersebut menjadikan nilai kesalingan atau hubungan timbal balik sebagai pijakan utama dalam proses memahami teks. Sehingga ini akan mencoba memunculkan keadilan di balik teks yang bahkan terkesan mendiskriminasi satu pihak. Dengan begitu pertanyaan agama sebabkan ketimpangan gender terjawab.
Sebagai contoh, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di masing-masing kitab Shahihnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata. Rasulullah Saw. bersabda “apabila seorang suami mengajak baik-baik istrinya ke ranjang (bersenggama) kemudian sang istri menolak keras (membangkang), sehingga sang suami marah besar kepadanya, maka malaikat akan menjauhkannya (laknat) dari kasih sayang (rahmat) sampai subuh”. H.R. Bukhari: 3272
Melalui metode Mubadalah, maka kesimpulan akhir dari teks di atas ialah bahwa ancaman tersebut tidak hanya berlaku kepada perempuan. Tapi juga berlaku kepada laki-laki sebagai suami apabila dalam keadaan tertentu istrinya menyatakan diri bahwa ia butuh nafkah batin, namun sang suami tidak memenuhinya maka ia juga berada pada posisi yang sama. Sebab ia tidak menunaikan kewajibannya. Sedangkan suami berkewajiban untuk menafkahki istri baik dhahir maupun batin, bukan?
Pada hakikatnya, agama memiliki visi yang revolusioner tentang kemanusiaan dan keadilan. Bukankah dengan adanya Islam justru martabat perempuan terangkat?
Jauh sebelum Islam datang kala itu di bangsa Arab, perempuan tidaklah lebih dari makhluk yang hina. Kelahirannya menjadi aib keluarga. Sehingga tangisnya ketika lahir sebisa mungkin diredam oleh ayah ibunya agar tidak terdengar oleh tetangga.
Karena mereka percaya bahwa anak perempuan adalah ‘aib bagi keluarga. Tidak berhenti di situ, membiarkan anak perempuan hidup kemudian tumbuh dewasa juga sangat jarang ditemui. Sebab orang tua bayi perempuan akan menguburnya ketika bayi itu lahir ke dunia.
Kemudian Islam datang, semua praktik yang menimbulkan kemudharatan itu pun pada akhirnya dihukumi haram. Bagaiamana sikap pembaca tentang agama sebabkan ketimpangan gender? Wallahu a’lam.
Oleh: Ahmad Fikri (Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang)