Tebuireng.co – KH. Abu Bakar adalah santri ‘kalong’ Tebuireng yang berguru langsung kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Ia termasuk salah satu santri yang dikaruniai umur panjang, namun sampai Kamis (12/08/21) Ia berpulang ke Rahmatullah di usianya yang ke 86.
KH. Abu Bakar menjadi santri langsung KH. Hasyim Asy’ari selama 3 tahun dan belajar di Pesantren Tebuireng selama 10 tahun. Sebagai santri ‘kalong’, sejak tahun 1943 ia berjalan kaki dari kediamannya di Desa Bandung menuju Pesantren Tebuireng untuk menuntut ilmu, jarak yang ditempuhnya cukup jauh.
Saat mengaji di Tebuireng ia masih sangat muda dan belum boleh mengikuti pengajian kitab yang diasuh Kiai Hasyim Asy’ari di masjid Tebuireng.
“di Tebuireng, berhubung saya masih kecil saya cuma mendengarkan di emperan masjid. Saya cuma bisa melihat yai Hasyim ngaji bersama santri-santri yang sudah tua-tua. Ngaji dari pukul enam pagi sampai sekitar pukul tujuh, saya lupa apakah yang dikaji kitab tafsir apa hadis Bukhari,” tutur Kiai Abu Bakar.
“Ketika yai Hasyim mengajikan kitab, beliau pakaiannya biasa seperti pakaian seorang petani. Setelah mengaji di masjid, Yai pergi ke sawahnya di daerah Jombok, menaiki dokar. Nah saat yai Hasyim berangkat ke sawah, santri-santri di pondok tidak ada yang berani keluar pondok, karena para santri menghormati yai Hasyim,” cerita Kiai Abu Bakar mengenang gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari.
Dari cerita Kiai Abu Bakar kepada penulis di kediamannya sekitar setahun yang lalu, banyak kesan yang disampaikan mengenai Kiai Hasyim Asy’ari. Berikut kami tuliskan 5 kesan Kiai Abu Bakar kepada Hadratussyakh Kiai Hasyim Asy’ari:
1. “Pernah suatu ketika saya berangkat ke pondok dari rumah seperti biasanya, saat sampai di sekitar pesantren Tebuireng saya melihat perempuan-perempuan nakal (semacam prostitusi) saya berbisik di dalam hati ‘tebuireng tempatnya santri, kalau seperti ini keadaan sekitarnya, apakah tidak merusak santri nantinya’. Tak lama setelah itu kami para santri dikumpulkan oleh yai Hasyim, diberi wejangan dan saat itu saya tidak begitu paham maksudnya karena saya masih kanak-kanak tapi saya terus mengingat-ingat kata-kata beliau yaitu ‘di mana ada jeding pasti ada carennya’ (limbahnya)”
2. “Pernah saya mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, yaitu ketika saya menyeret meja belajar yang biasanya ditumpuk di luar masjid sehingga menimbulkan bunyi, saat itu sekitar pukul 8 pagi. Saya tidak tahu kalau di dalam masjid Yai Hasyim sedang shalat dhuha. Mendengar suara ramai dari meja yang saya seret, yai Hasyim menegur saya yang kemudian teguran beliau itu saya artikan bahwa kalau ada yang sedang shalat tidak boleh ada yang ramai, tidak boleh diganggu.”
3. “Biasanya saya dhuhur pulang ke rumah, tapi karena saat itu saya merasa rumah saya jauh maka saya ikut sembahyang berjamaah kepada Yai Hasyim di pondok, setelah shalat beliau membaca istighfar, shalawat, dan dzikir. Sehingga saya berpikir saat itu bahwa amalan-amalan itu untuk memohon ampunan, orang kalau sudah diampuni Allah itu enak, minta apapun dikasih.”
4. “Pada acara akhirussanah tanggal 15 Syawal malam hari, kami satu kelas disuruh hafalan oleh Yai Hasyim kitab Aqidatul Awam dan Tarbiyatussibyan dan setelah itu kami semua diberi buntelan berupa makanan lalu kami pulang. Dari kejadian itu saya menafsiri bahwa kalau menyuruh orang lain harus diberi imbalan jangan dibiarkan tidak diberi apa-apa.”
5. “Suatu ketika saya mendapati al-Quran tergeletak bukan pada tempat semestinya, akhirnya saya ambil (pen: kiai Abu Bakar tidak punya wudhu). Oleh karena itu perbedaan antar madzhab harus dipahami antara Imam Hanafi, imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Hambali. Saat itu saya masih bingung tentang perbedaan madzhab padahal praktik-praktik ibadah harus dipahami melalui para imam tersebut. Karena saya bingung maka saya ikut ngaji di masjid. Lalu saya mendengar keterangan di Mekah menyentuh perempuan tidak batal wudhu menurut imam Malik tapi bagi imam Syafi’i batal. Sehingga saya memahaminya bahwa fikih harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi”
Baca juga: Peran Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dalam Pendirian NKRI
Sebelum wafatnya, Kiai Abu Bakar tetap istiqamah memberikan pengajian kitab kepada para santri, seperti dituturkan Syafiq Alfian salah satu santri yang ikut mengaji kepada Kiai Abu Bakar “ada sekitar 10 santri Mu’allimin Tebuireng yang rutin ngaji ke ndalem beliau, kitab yang dikaji adalah Arba’in Nawawi, Mabadi’ Fiqhiyah dan Kifayatul Awam.”