122 tahun usia Tebuireng dalam mengawal Indonesia dan Islam. Tahun ini Tebuireng mengangkat tema “Mengawal perpaduan Indonesia dan Islam”. Semangat ini menarik untuk dibahas lebih lanjut karena memiliki dasar yang kuat.
Dengan segala keterbatasan di awal pendiriannya, Tebuireng menjelma menjadi kawah candradimukanya tokoh-tokoh Islam Indonesia. Unik, keluarga besar Tebuireng dan para santrinya memiliki kecintaan luar biasa pada Islam dan Indonesia.
Tamsil KH A Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan KH As’ad Syamsul Arifin. Terbaru, Wakil Presiden RI 2019-2004 KH Ma’ruf Amin.
Merujuk pada profil Pesantren Tebuireng yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng (2011), KH M Hasyim Asy’ari merupakan pendiri dan pengasuh pertama Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Pada 3 Agustus 1899, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Awalnya, santri berjumlah delapan, lalu tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Menjadi bagian dari Pesantren Tebuireng merupakan anugerah dan kebanggan tersendiri bagi orang-orang yang mengharapkannya. 122 tahun perjalan Tebuireng bukan waktu yang sebentar, rekam sejarah membuktikan Tebuireng besar pengaruhnya sejak awal berdiri.
Pasalnya, sampai 122 tahun Tebuireng sebagai pesantren tidak hanya mempersembahkan ragam disiplin keilmuan untuk masyarakat luas. Lebih dari itu, gerakan-gerakan eksklusif untuk kepentingan bersama semarak dilakukan oleh Tebuireng.
Tercatat dalam sejarah, Tebuireng dari era KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim Asy’ari beserta santri Tebuireng berjuang hingga titik darah penghabisan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Menurut kesaksian Mbah Syukri – salah satu orang yang berjuang atas restu Kiai Hasyim Asy’ari yang wafat pada tanggal 29 Juli 2021- bahwa Kiai Hasyim dalam berjuang turun langsung ke medan perang.
Ia tidak hanya mengobarkan semangat pejuang dengan nasihat dan fatwa keagamaan yang dikeluarkan pada saat itu. Bahkan menurut kesaksiannya, pada saat salah satu perang di Surabaya Kiai Hasyim mengendarai jeep terbuka memimpin langsung Laskar Hisbullah.
Ketika itu, Kiai Hasyim diserang dengan hujanan peluru oleh tentara Belanda dan atas pertolongan Allah masih selamat. Darah pejuang yang dikobarkan Kiai Hasyim mengalir ke keluarga besar Tebuireng dan santri Kiai Hasyim.
Hal ini dibuktikan dengan semangat KH Wahid Hasyim dalam membentuk dasar negara Indonesia. Patahan sejarah banyak menceritakan bagaimana peran Kiai Wahid di awal kemerdekaan Indonesia hingga menjabat menteri Agama RI.
Kiai Wahid menjadi anggota 9 dalam perumusan Pancasila. Di saat menjabat sebagai menteri agama, ia mendirikan perguruan tinggi Islam negeri yang kemudian bertranformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang tersebar di beberapa kota di Indonesia.
Tidak berhenti di sini, dari Tebuireng secara berurutan terus melahirkan tokoh yang mengawal keislaman dan keindonesian. Ada Kiai Yusuf Hasyim yang ikut serta melawan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, di berbagai wilayah banyak organisasi-organisasi massa yang membentuk laskar-laskar bersenjata.
Salah satunya adalah Laskar Hizbullah. Yang menggunakan nama Laskar Hizbullah cukup banyak. Masyumi, yang saat itu merupakan salah satu partai besar, mempunyai laskar yang juga bernama Hizbullah.
Hadratussyai KH Hasyim Asy’ari juga membentuk Laskar Hizbullah, yang kemudian dikenal sebagai Laskar Hizbullah Cibarusa, karena perkembangannya berada di wilayah Cibarusa, Cimahi, Jawa Barat.
Sebagai tokoh Islam yang sangat berpengaruh,KH Hasyim Asy’ari mendukung penuh berdirinya PETA dan Hizbullah, bahkan merestui dua orang puteranya bergabung di dalamnya.
Kiai Abdul Kholik Hasyim bergabung ke PETA dan ikut latihan menjadi daidanco (Komandan Batalyon), sedangkan Kiai Yusuf Hasyim (Pak Ud) yang saat itu masih berumur 16 tahun, masuk Hizbullah sekitar awal tahun 1945.
Ketika resolusi jihad lahir, disusul dengan meletusnya Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, Pak Ud terpilih menjadi komandan Kompi Laskar Hizbullah Jombang.
Setelah berhasil menaklukkan kota Surabaya, pasukan Belanda bergerak ke arah Jombang dan berhasil memporak-porandakan kota santri.
Pasukan yang dipimpin Kolonel Van Der Plass tersebut lalu bergerak ke arah selatan menuju Tebuireng. Pesantren Tebuireng yang saat itu dipimpin Kiai Wahid Hasyim, dituding sebagai tempat persembunyian Tentara Republik sehingga diserang sampai luluh lantak.
Pasukan Van Der Plass lalu bergerak ke selatan untuk mengejar pasukan Republik pimpinan Pak Ud. Dalam kontak senjata di Desa Laban, selatan Tebuireng, Pak Ud tertembak di bagian dada sebelah kiri.
Namun, peluru hanya merobek baju uniform kebanggaannya, tidak sampai menembus dada. Pak Ud sempat pingsan selama beberapa jam akibat tembakan tersebut.
Pak Ud kemudian diamankan di rumah Maksum, teman dekatnya. Rumah Maksum memang digunakan sebagai tempat menyembunyikan mortir, bedil, mesiu, dan tentara yang sedang dicari-cari Belanda.
Setelah 3 hari bersembunyi, Pak Ud meninggalkan tempat persembunyiannya bersama beberapa warga desa. Dari Desa Laban mereka melewati hutan jati ke Desa Sugihwaras, Wonosalam, Gumeng, sampai ke kawasan Tretes lalu Malang. Jarak itu ditempuh selama berminggu-minggu dengan berjalan kaki.
Ketika Perdana Menteri Moh Hatta melakukan rasionalisasi dan strukturisasi TNI, Pak Ud masuk dalam dinas TNI dan mendapat pangkat Letnan Satu di bawah pimpinan Letkol Munasir. Menurut satu sumber, Letkol Munasir adalah teman dekat KH Wahid Hasyim.
Dalam peristiwa Madiun 1948, Pak Ud menjadi salah satu komandan tempur yang berada di garis depan.
Pak Ud bersama pasukannya berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting yang diculik PKI, seperti Kapten Hambali, KH Ahmad Sahal, dan Pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo KH Imam Zarkasyi. Saat itu Pak Ud terjun bersama kakaknya, Kiai Kholik Hasyim.
Tujuh tahun berikutnya, yaitu tahun 1955, PKI kembali melakukan pemberontakan melalui peristiwa G30S dengan dibunuhnya beberapa Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di tengah peristiwa G30S/PKI, Pak Ud dan keluarga sudah pindah ke Jakarta, tinggal di kawasan Tebet. Pak Ud, oleh orang-orang PKI di Jakarta, juga dijadikan target pencarian, tapi tidak berhasil ditangkap karena saat itu berada di Tebuireng.
Di generasi selanjutnya dari Pesantren Tebuireng yang populer mengawal keislaman dan keindonesian yaitu KH Abdrrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Keduanya berada di zaman yang sama dan terus menebarkan substansi ajaran Islam seperti ikhlas, jujur, saling menolong dan tanggung jawab.
Gus Dur sempat menjadi presiden ke-4 RI yang kemudian dilengserkan secara politis oleh saingan politiknya.
Akan tetapi, kekalahan Gus Dur secara politik tidak memadamkan semangatnya sebagai pejuang kemanusiaan. Ia kemudian menjadi guru bangsa.
Banyak orang yang belajar darinya baik secara langsung, mengkaji pemikiran maupun dengan cara meneladani apa yang telah ia persembahkan bagi bangsa dan negara.
Sementara Gus Sholah pernah aktif di Komnas HAM dan sejak 2006 hingga 2020 kembali ke Jombang merawat Pesantren Tebuireng. Wajah baru dan semakin bagus muncul dari Tebuireng di era Gus Sholah.
KH Shalahuddin Wahid, adalah adik kandung Gus Dur. Kiai dengan latar belakang arsitek ini mewarisi darah sebagai pejuang yang religius-nasionalis.
Secara eksplisit, yang ia perjuangkan tidak jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh pendahulunya. Persatuan indonesia secara umum dan persatuan umat Islam secara khusus merupakan poin besarnya.
Tebuireng di masa Gus Sholah tidak hanya fokus untuk mencetak kader pesantren yang tafqquh fi al-diin dan menggali prestasi akademik santri semata.
Akan tetapi ia juga berusaha menjadikan Tebuireng hadir dalam mengatasi problematika sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat secara langsung.
Dalam berkhidmah untuk kemaslahatan masyarakat misalnya, Gus Sholah banyak mendirikan lembaga untuk melayani dan membantu kebutuhan masyrakat.
Mulai dari Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT), Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) hingga rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas.
LSPT fokus dalam pengelolaan infaq dan sedekah para donatur untuk kemudian disalurkan terhadap warga yang membutuhkan.
Hingga hari ini, peran Tebuireng ini terus dilanjutkan para santri dan keluarga besar KH Hasyim Asy’ari. Saat ini Tebuireng dipimpin oleh KH Abdul Hakim Mahfudz.
Melihat sepak terjang para tokoh Tebuireng dari masa ke masa, setidaknya 122 tahun lamanya, dapat disimpulkan bahwa persatuan berasaskan agama, bangsa dan kemanusiaan secara universal menjadi tujuan utama mereka.
Sejak era KH Hasyim Asyari hingga usia 122, Tebuireng menempatkan keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikkan nafas. Membela agama lewat pendidikan Islam di Tebuireng dan membela negara lewat berjuang secara langsung.
Lima nilai dasar Pesantren Tebuireng tertanam mendalam di jiwa para penerus dan santr Tebuireng sebagai patokan dan pedoman. dalam perjuangan.
Lima nilai dasar tersebut adalah ikhlas, jujur, kerja keras, tanggung jawab dan tasamuh. Lima nilai dasar tadi merupakan warisan dari KH Haysim Asy’ari yang terdapat di beberapa karyanya.
Ahmad Fikri/Abdurrahman